Di desa kecil bernama Kadugede, Kuningan, Jawa Barat, ada sebuah toko kelontong bernama “Warung Bu Ros.”
Warung ini sudah ada sejak tahun 1997 — menjual sabun, kopi sachet, dan camilan lokal.
Tapi yang membuat warung ini viral di kampung justru bukan karena jualannya.
Melainkan karena satu hal yang tidak disangka:
fomototo.
Digitalisasi ala Warung Kampung
Anaknya Bu Ros, namanya Dani, baru lulus SMK jurusan TKJ.
Dia bilang ke ibunya, “Bu, zaman sekarang orang nongkrong gak cuma beli ciki. Kasih mereka hiburan juga.”
Dani lalu memasang Wi-Fi murah dari program pemerintah desa dan membuat satu sudut warung jadi “Pojok Game Ringan”.
Di sana, siapa saja boleh main game online lewat fomototo.
Gratis, asal beli kopi sachet satu.
Fomototo Jadi Magnet Komunitas
Siapa sangka, sejak ada pojok ini, pengunjung warung naik dua kali lipat.
Anak-anak sekolah nongkrong sambil adu skor.
Bapak-bapak ngopi sambil main puzzle.
Ibu-ibu ikut nonton sambil komentar lucu.
“Fomototo ini ringan, gampang dipahami, gak bikin HP panas,” kata Dani.
“Dan yang penting, bikin orang betah nongkrong.”
Dari Hiburan ke Strategi Bisnis
Karena makin ramai, Dani dan ibunya mulai menata warung jadi semi-kafe kecil.
Ada menu tambahan seperti gorengan hangat, pisang keju, dan minuman es kekinian.
Setiap pembeli dapat bonus akses ke daftar game populer di fomototo.
Bahkan kini mereka mulai mengadakan:
-
Lomba mingguan: Juara Fomototo Kampung
-
Promo “Skor Tertinggi Dapat Teh Manis Gratis”
-
Dan mural dinding bertuliskan: “Mainnya di sini, kliknya di fomototo!”
Penutup: Inovasi Tak Selalu Butuh Modal Besar
Siapa bilang digitalisasi UMKM harus pakai aplikasi ratusan juta?
Siapa sangka situs sederhana seperti fomototo bisa jadi pemantik perubahan?
Di tangan kreatif seperti Dani dan Bu Ros,
fomototo bukan cuma tempat main, tapi jadi bagian dari strategi bertahan dan tumbuh.
Karena bisnis yang hidup bukan yang paling mewah,
tapi yang paling bisa beradaptasi dengan zaman dan… bikin orang senang.